Cloverfield merupakan sebuah film monster yang digarap
dengan gaya found-footage (contohnya
seperti film Chronicle dan Paranormal Activity). Sejujurnya saya cukup heran
mengetahui fakta tersebut. Saya takut gaya pengambilan found-footage tersebut jika tidak diambil dengan baik, justru akan
membosankan.
Cerita dari film Cloverfield ini sendiri mengenai
Robert yang akan berangkat ke Jepang untuk menjadi wakil presiden sebuah
perusahaan. Maka dari itu, sahabat-sahabat Robert pun memutuskan untuk membuat
sebuah pesta perpisahan. Pesta tersebut berjalan dengan sukses, hingga
tiba-tiba sebuah gempa membuat semuanya panik.
Pesta yang awalnya berjalan lancar kini terganggu.
Gempa yang nantinya disusul ledakan sebuah bangunan dari jarak jauh tersebut
kontan membuat semua yang ikut pesta lari kocar-kacir ke luar. Hud, teman baik
Robert yang bertugas mendokumentasikan pesta pun ikut ke luar bersama Robert,
Jason (adik Robert) dan Lily (kekasih Jason).
Di luar bangunan, keadaan cukup kacau. Hud yang masih
memegang kamera mencoba untuk mengabadikan apa yang terjadi, sampai akhirnya ia
merekam apa yang menjadi permasalahan utama. Hud dan yang lainnya melihat
kembali rekaman tersebut dan terhenyak saat mengetahui ada monster raksasa dari
kejauhan tengah menghancurkan kota. Lantas, apa yang akan dilakukan Hud,
Robert, dan teman-temannya? Apakah mereka akan berhasil selamat dari serangan
monster di kota tersebut?
Saat film ini berakhir, saya mengembuskan nafas akibat
ketegangan yang saya rasakan. Ada rasa puas dan sedikit rasa penasaran setelah
film ini berakhir. Saya rasa sang sutradara telah berhasil dengan baik mengarahkan
film ini dengan baik sehingga film Cloverfield ini menjadi seru dan enjoyable.
Kekhawatiran saya saat mengetahui format pengambilan
gambarnya adalah, saya takut monsternya hanya akan keluar sebentar dan tidak
menghasilkan aksi hancurnya kota yang seru. Sepertinya sutradara mengerti
kekhawatiran itu dan dengan cerdas membuat film ini tidak menjemukan dan
senantiasa menegangkan.
Tema serangan monster memang bukan hal baru dalam
kancah perfilman. Film-film serangan monster mulai dari yang cuma satu seperti
Godzilla (1998) sampai yang keroyokan seperti The Mist dan Pacific Rim.
Mainstreamnya tema monster bukan berarti menjadikan
film ini sebagai film yang membosankan karena melulu memperlihatkan kehancuran
dan keperkasaan seorang monster. Film ini justru membuka sudut pandang baru
sebagai manusia yang berada di tengah-tengah kekacauan tersebut.
Kekurangan dari film ini sendiri menurut saya ada pada
metode found-footage itu sendiri.
Memang, hasilnya lebih personal dan lebih emosional, namun secara logika, saya
kurang dapat menolerir baterai kamera yang sepertinya tidak pernah habis-habis.
Jika dalam film Chronicle diperlihatkan kameranya berganti-ganti, kamera dalam
film ini hanya satu. I mean like, you
record the whole party and the monster attak for more than 7 hours?
Memang kekurangan-kekurangan semacam itu sangan sulit
diantisipasi. Mungkin akan logis jika dalam perjalanan Hud mengganti baterai
kameranya, namun justru akan aneh.
Pada akhirnya, dengan kekurangan-kekurangan pada film
ini, Cloverfield tidak lantas menjadi film yang sempurna, namun juga tidak
menjadi film yang buruk. Jika Anda ingin menonton film tentang monster dengan
sudut pandang yang lain, Cloverfield dapat menjadi salah satu yang disarankan.
(Btw, film Monsters
juga katanya lebih mengisahkan sudut pandang manusia, tapi saya belum nonton,
hehehe)
0 komentar:
Posting Komentar