Pages

Minggu, 03 Agustus 2014

Cloverfield

Cloverfield merupakan sebuah film monster yang digarap dengan gaya found-footage (contohnya seperti film Chronicle dan Paranormal Activity). Sejujurnya saya cukup heran mengetahui fakta tersebut. Saya takut gaya pengambilan found-footage tersebut jika tidak diambil dengan baik, justru akan membosankan.


Cerita dari film Cloverfield ini sendiri mengenai Robert yang akan berangkat ke Jepang untuk menjadi wakil presiden sebuah perusahaan. Maka dari itu, sahabat-sahabat Robert pun memutuskan untuk membuat sebuah pesta perpisahan. Pesta tersebut berjalan dengan sukses, hingga tiba-tiba sebuah gempa membuat semuanya panik.

Pesta yang awalnya berjalan lancar kini terganggu. Gempa yang nantinya disusul ledakan sebuah bangunan dari jarak jauh tersebut kontan membuat semua yang ikut pesta lari kocar-kacir ke luar. Hud, teman baik Robert yang bertugas mendokumentasikan pesta pun ikut ke luar bersama Robert, Jason (adik Robert) dan Lily (kekasih Jason).

Di luar bangunan, keadaan cukup kacau. Hud yang masih memegang kamera mencoba untuk mengabadikan apa yang terjadi, sampai akhirnya ia merekam apa yang menjadi permasalahan utama. Hud dan yang lainnya melihat kembali rekaman tersebut dan terhenyak saat mengetahui ada monster raksasa dari kejauhan tengah menghancurkan kota. Lantas, apa yang akan dilakukan Hud, Robert, dan teman-temannya? Apakah mereka akan berhasil selamat dari serangan monster di kota tersebut?

Saat film ini berakhir, saya mengembuskan nafas akibat ketegangan yang saya rasakan. Ada rasa puas dan sedikit rasa penasaran setelah film ini berakhir. Saya rasa sang sutradara telah berhasil dengan baik mengarahkan film ini dengan baik sehingga film Cloverfield ini menjadi seru dan enjoyable.

Kekhawatiran saya saat mengetahui format pengambilan gambarnya adalah, saya takut monsternya hanya akan keluar sebentar dan tidak menghasilkan aksi hancurnya kota yang seru. Sepertinya sutradara mengerti kekhawatiran itu dan dengan cerdas membuat film ini tidak menjemukan dan senantiasa menegangkan.

Tema serangan monster memang bukan hal baru dalam kancah perfilman. Film-film serangan monster mulai dari yang cuma satu seperti Godzilla (1998) sampai yang keroyokan seperti The Mist dan Pacific Rim.

Mainstreamnya tema monster bukan berarti menjadikan film ini sebagai film yang membosankan karena melulu memperlihatkan kehancuran dan keperkasaan seorang monster. Film ini justru membuka sudut pandang baru sebagai manusia yang berada di tengah-tengah kekacauan tersebut.

Kekurangan dari film ini sendiri menurut saya ada pada metode found-footage itu sendiri. Memang, hasilnya lebih personal dan lebih emosional, namun secara logika, saya kurang dapat menolerir baterai kamera yang sepertinya tidak pernah habis-habis. Jika dalam film Chronicle diperlihatkan kameranya berganti-ganti, kamera dalam film ini hanya satu. I mean like, you record the whole party and the monster attak for more than 7 hours?

Memang kekurangan-kekurangan semacam itu sangan sulit diantisipasi. Mungkin akan logis jika dalam perjalanan Hud mengganti baterai kameranya, namun justru akan aneh.

Pada akhirnya, dengan kekurangan-kekurangan pada film ini, Cloverfield tidak lantas menjadi film yang sempurna, namun juga tidak menjadi film yang buruk. Jika Anda ingin menonton film tentang monster dengan sudut pandang yang lain, Cloverfield dapat menjadi salah satu yang disarankan.


(Btw, film Monsters juga katanya lebih mengisahkan sudut pandang manusia, tapi saya belum nonton, hehehe)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About